Cintailah Produk-produk Indonesia
Beberapa waktu lalu, ketika sedang berkomunitas, saya tidak sengaja menonton vidio stand up comedy seorang komika kelas kakap Indonesia, Sammy Notaslimboy. Topiknya adalah semua tentang Indonesia.
Ada satu hal yang membuat saya agak kesal sebenarnya, yaitu ketika dia bilang,
Beli produk dalam negeri? Kalau mau dibeli, perbaiki dulu kualitasnya, kalau udah bagus, baru kita beli,
Honestly, as an ex-debater, thing like this is really debatable. Ada argumen yang tertahan kala itu. Ada pandangan yang tak tersalurkan melalui lisan. Jadi, saya putuskan untuk memberikan pandangan saya terhadap penyataan komika yang katanya suka nge-gas ini melalui tulisan.
Ok, here we go.
Racism jokes tentang Cintailah Produk Indonesia
Pertama, mungkin kalian pernah dengar candaan kaya gini: katanya “Cintailah produk-produk Indonesia” tapi yang ngomongnya orang Cina. Pernah? Saya yakin pasti pernah. Kalau pernah itu normal, karena itu adalah bentuk racism fun/jokes yang dianggap lazim di negeri kita.
Kalau kita pikirkan lagi, sebenarnya bentuknya sama kaya bercanda tentang warna kulit. Bedanya, khususnya di Amerika sana, hal-hal seperti itu agak sedikit tabu dan sensitif, apalagi di tahun-tahun 1700-1900-an. Singgung sedikit tentang rasisme, kita bisa dibakar hidup-hidup.
So, stop make fun of race nor do religion. It is fun, but not intellectual. It is short of the lowest level of punch line, I think.
Bercandaan kaya gini itu mentah relevansi dan miskin validasi informasi, atau bahasa gampangnya, lebih mengutamakan nilai ‘yang penting lucu’ ketimbang benar. Kenapa? Karena orang Cina yang selalu dijadikan bahan candaan tidak lain dan tidak bukan merupakan orang Indonesia asli yang kebetulan keturunan Cina. Siapakah dia? Alim Markus-lah namanya. Mau tahu lebih jauh? Silahkan cari di Google.
Oke, sebenarnya itu cuma intermezzo sebelum masuk ke poin saya yang utama. Mari kita mulai masuk ke main course.
Pride menggunakan produk import
Kedua, masalah kita adalah tingginya rasa pride and proud to use import products. Paham? Orang Indonesia, khususnya pemudanya, itu punya kecenderungan bangga menggunakan barang-barang luar negeri sehingga mereka mendewakan barang-barang import. (baca: fanatik)
Saking mendewakannya, kita sampai beranggapan bahwa kualitas barang impor itu yang terbaik dan pasti lebih bagus dari produk lokal. Produk lokal itu minim trial error, dibuatnya kadang sejadinya, nggak tersertifikasi, atau lain-lain. Jujur aja kita pasti punya pemikiran kaya gitu, termasuk saya sendiri, kok.
Tapi sebenarnya, produk lokal kita itu bisa bersaing, bahkan saya berani bilang sangat bisa bersaing. Hanya saja mata kita masih terlalu dikerucutkan pada produk-produk impor karena merekalah yang menguasai media. Mereka yang punya modal untuk membuat iklan serba wah.
Fun fact, mungkin kalian juga sudah pernah dengar, bahwa merchandise resmi Manchester United yang dijual di Old Trafford adalah Made in Indonesia karena kualitasnya yang terbaik. Sepatu Nike diproduksi di negara kita, oleh tangan-tangan tidak certified orang Indonesia karena hasilnya terbaik. Bahkan animator-animator, aktor, seniman, ahli IT, banyak yang direkrut oleh negara lain karena talenta yang mereka miliki dan mereka asah di negeri ini adalah yang terbaik.
Kalau saya boleh sedikit menyinggung politik, masalah kita seperti apa yang pak Joko Widodo pernah singgung, Revolusi Mental. Biar saya kasih contoh.
Saya punya seorang teman yang agak nyandu sama brand fashion import, sebut saja dia De. Sekali saya diajak menemani dia berbelanja untuk membeli sebuah topi dan jaket Supreme. Overall, dia menghabiskan 12,5 juta rupiah untuk dua item tersebut.
Waktu saya coba jaketnya, rasanya sama. Kirain saya ada sensasi adem gimana gitu kaya ada AC-nya. Ternyata sama saja. Ternyata yang membedakan hanya brand dan gengsi. Emang sih desainnya keren, tapi nggak wah, gitu, cuma keren karena beda aja. Kalau cuma nyari beda, banyak ide kreatif di kepala para pemuda negeri ini yang lebih wah.
Jelas sekali ini adalah masalah mental. Dan jujur, sampai sekarang, saya belum menemukan solusi konkrit untuk merealisasikan konsep Revolusi Mental yang pernah ada namun hilang entah kemana. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membantu menyuarakan pesan, cintailah produk-produk Indonesia baik melalui tulisan, lisan maupun aksi nyata membeli produk lokal, Indonesia.
Kualitas Produknya Bagusin, Baru Dibeli
Ketiga, masalah lainnya adalah tuntutan ‘kalau mau dibeli, perbaiki dulu kualitasnya,’ Coba kita balik tanya, gimana para pebisnis lokal bisa memperbaiki atau mengembangkan kualitas produk mereka kalau kita tidak membelinya?
Kadang kita menilai produk mereka kurang berkualitas karena iklannya biasa-biasa aja, atau karena review/ rating-nya sedikit.
Ini masalah utamanya, mereka nggak bisa memperbaiki karena salahnya mereka kadang ditunjukan secara subjektif. Kasarnya, banyak orang yang beli nggak, ngomen iya. Itu secara tidak langsung membuat brand lokal jadi down.
Karenanya, mereka mau ngejar balik modal aja susah, apalagi mau ngembangin produk.
Kalau kita berkaca ke Cina, mereka itu mencoba independen (atau mungkin nasionalis secara totalitas) di segala hal agar dapat mandiri ekonomi. Cina bikin situs pencarian sendiri agar mereka tidak memperkaya Google yang punya luar, bikin situs jual-beli sendiri agar mereka tidak memperkaya eBay dan Amazon yang punya luar, bahkan bikin hp sendiri (meski teknologinya ada yang bilang nyontek) agar mereka nggak memperkaya perusahaan luar.
Lihat mereka sekarang? Adidaya dan mandiri secara ekonomi (dilihat secara nasional). Bahkan ada yang memperkirakan bahwa di tahun 2025 Cina akan menjadi negara produsen terkaya melebihi Amerika. Semuanya karena apa? Simpel! Dengan mulai mencintai produk-produk dalam negeri.
Indonesia pun demikian. Industri otomotif mau motor atau mobil, kita sudah punya. Masalahnya adalah mahal, jadi nggak ada yang mau beli dan balik beli produk luar, akhirnya pengusahanya nggak berkembang.
Handphone, sudah ada yang mau nyoba bikin dan ngembangin, tapi langsung dibanding-bandingkan dengan brand besar, akhirnya terlihat kurang/ jelek, nggak ada yang beli, akhirnya nggak berkembang.
Semua kurang-lebih polanya sama. Kita menuntut para produsen lokal langsung membuat yang wah, dengan harga yang murah, yang mana itu tidaklah mungkin. Karena kalau memang mau mandiri secara ekonomi, perputaran uang harus secara murni mengalir di dalam (kalau perlu nggak ada angel investor dari luar) agar keuntungan sepenuhnya untuk kemaslahatan produsen, bangsa dan negara.
Closing Statement
Pertanyaan besarnya sanggup nggak?
Mau nggak kita lepas ketergantungan kita terhadap produk-produk luar untuk sesaat? Mau nggak kita sama-sama mundur beberapa langkah ke belakang untuk melompat jauh ke depan? Kalau iya, mulailah dari membeli produk-produk dalam negeri.
Saya selalu menanamkan ini dalam diri:
Hidup terlalu singkat untuk mengedepankan glamour dan gengsi. Hidup terlalu berharga untuk dibuang mengejar materi yang sifatnya temporer. Hidup lebih indah bila kita mementingkan kebersamaan dan berbagi. Hidup lebih bermakna ketika kita bisa melihat mereka yang kita cintai. Hidup bahagia dan sentosa di negeri mereka sendiri.MAZ
Saya harap, mimpi saya ini bisa terwujud dengan cara yang luar biasa. Sebuah harapan kecil dimana bangsa ini punya rasa bangga tinggi terhadap produk dalam negeri.
Terima kasih telah membaca dan sampai jumpa di tulisan saya lainnya.
Posting Komentar
Harap berikan komentar yang relevan dengan topik tulisan.
Jangan menyertakan link yang tidak berhubungan dengan konten tulisan. Apabila komentar mengandung link (apalagi yang tidak relevan), maka komentar akan dihapus.
Budayakan sopan santun, hindari penggunaan bahasa yang provokatif, SARA, pornografi.
Kritik dan saran yang membangun untuk konten ataupun untuk blog sangat berarti bagi kemajuan blog ini.